Senin, 03 November 2008

Wong Cilik Sebagai Pembentuk “Priyayi Tulen”

Novel ”Para Priyayi” karya Umar Kayam, adalah salah satu novel Indonesia yang mengangkat latar lokalitas budaya. Novel ini menyoroti adat budaya Jawa, khususnya pola hidup dan kehidupan para Priyayi di Jawa. Priyayi pada hakikatnya adalah sebuah julukan bagi para cendikiawan, pejabat, dan para keturunan ningrat dan bangsawan di ranah Jawa. Kedudukannya begitu dihormati sebab tidak semua orang bisa sampai atau menjadi seorang Priyayi. Namun yang menarik adalah, nilai Priyayi itu tidak sama, baik dalam masyarakat umum (yang bukan Priyayi), maupun dikalangan Priyayi itu sendiri. Hal inilah yang penulis lihat ada dalam cerita novel ”Para Priyayi” karya Umar Kayam ini. Umar Kayam sadar atau tidak, memasukan pandangan ini dalam novelnya. Oleh sebab itu penulis mencoba mendekati gejala ini dengan mengambil pemikiran, bahwasannya dalam ”Para Priyayi” terdapat kode budaya (Jawa) yang dituliskan pengarang atas dasar penilaian dan pengamatannya terhadap masalah mengenai perbedaan nilai dan kualitas seorang Priyayi dalam lingkungannya.
Menurut Roland Barthes, sebuah tanda itu dapat muncul akibat adanya pengetahuan budaya seperti, mitos, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, dsb. Hal ini menurut penulis dapat dikaitkan dengan kedudukan Priyayi dalam Novel para Priyayi, khususnya pada permasalahan pandangan kedudukan seorang Priyayi dalam masyarakat. Dalam novel ”Para Priyayi”, penulis dapat membagi atas tiga bagian para Priyayi itu sesuai dengan proses terbentuknya. Yang pertama adalah: statusnya sebagai seorang Priyayi didasari atas hubungan darah (keturunan) raja-raja atau penguasa Jawa, yang kedua adalah didasari karena penganugerahan oleh kerajaan atau pemerintah kolonial karena pengabdiannya sebagai abdi dalem atau pengabdiannya sebagai pegawai pemerintahan kala itu, yang ketiga berdasarkan proses pendidikan yang didapatnya dengan cara ngenger (menumpang pada Priyayi yang sudah mapan). Berasarkan ketiga proses tersebut dalam novel, penulis melihat adanya gejala perbedaan nilai di sana. Yakni, status penghargaan dan penghormatan yakni dari kalangan masyarakat non-Priyayi maupun dari kalangan Priyayi. Seperti telah dikatakan sebelumnya, proses ketiga berangkat dari sebuah usaha seseorang yang menempuh pendidikan tinggi guna menjadi seorang cendikiawan dan akhirnya mendapatkan gelar Priyayi dalam masyarakat. Proses yang ketiga ini menurut pandangan Priyayi yang lain adalah proses yang paling rendah tingkatannya dalam kalangan Priyayi. Namun yang menarik justru dalam cerita, orang yang menjalani Proses ketiga inilah yang pada akhirnya menjadi Priyayi besar dan menyanding predikat ”Priyayi Tulen”. Hal ini disebabkan karena para Priyayi yang berangkat dari golongan ketiga tersebut erat kaitannya dengan wong cilik.
Dalam novel, kita dapat melihat adanya Dua tokoh Priyayi yang berkedudukan tinggi, namun pada awalnya ia justru menempuh pintu gerbang ke-Priyayi-an melalui jalur yang terendah. Kedua tokoh tersebut adalah Sastrodarsono dan Lantip. Kedua tokoh ini adalah Priyayi besar yang lahir justru dari kalangan bawah (wong cilik). Hal ini menurut penulis adalah sebuah indeks yang menyatakan pentingnya kedudukan wong clik itu dalam kasta Priyayi. Dalam novel kita dapat meihat kedua tokoh tersebut besar mendapat gelar Priyayinya melalui usaha dan kerja kerasnya, dengan cara ngenger pada Priyayi lain. Namun hal ini justru membuat motifasi lebih bagi kedua tokoh tersebut guna meningkatkan kualitas kehidupan dirinya maupun keluarganya yang notabene adalah keluarga miskin. Dari penjabaran itu penulis melihat adanya peran yang sangat besar dari strata wong cilik guna menjadi lecutan ataupun dorongan guna berbuat yang lebih baik dalam hal ini adalah menjadi seorang Priyayi, agar kualitas kehidupan pribadi dan keluarganya meningkat.
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa dalam Priyayi itu terdapat dua nilai yang berbeda, nilai tersebut pada dasarnya timbul dari dua pengamatan yakni berdasarkan proses terciptanya seorang menjadi Priyayi dan nilai guna Priyayi itu sendiri. Pandangan yang pertama biasanya muncul dikalangan para Priyayi saja sebab mereka menganggap garis keturunanlah yang sangat menentukan kualitas dan kuantitas seorang Priyayi. sedangkan nilai kedua muncul dari kalangan masyarakat non-Priyayi khususnya wong cilik sebab secara tersirat dalam novel, priyayi yang sukses adalah priyayi yang berasal dari golongan wong cilik. Hal tersebut dapat dilihat melalui tokoh Sastrodarsono dan Lantip.
Bila kita cermati perjalanan kehidupan Lantip dan Sastrodarsono, ada kemiripan sistem dan pola hidup mereka. Hal tersebut adalah selain mereka sama-sama seorang Priyayi yang sukses yang berasal dari kalangan wong cilik, mereka juga sebagai seorang pencetak Priyayi lainnya. Maksudnya adalah, dalam perjalanan hidup mereka sebagai seorang Priyayi, mereka kemudian memberikan pengabdian pada masyarakat dengan cara menjadi fasilitator bagi golongan wong cilik yang ingin menjadi Priyayi. Secara struktur kita dapat menggambarkan polanya sebagai berikut:

Ngenger Ngenger
Wong Cilik Priyayi Wong Cilik/ Priyayi Tulen Wong Cilik P. tulen

Garis keturunan Garis Keturunan
Priyayi Keturunan P. Keturunan

Dari penggambaran di atas, kita dapat menyimpulkan bahwasannya seorang Priyayi yang berasal dari golongan wong cilik dapat mencetak dua golongan Priyayi sekaligus, yakni Priyayi keturunan dan Priyayi yang seperti dirinya. Hal ini pulalah yang dilakukan oleh Sastrodarsono dan Lantip. Walaupun mereka akhirnya menjadi seorang Priyayi besar tetapi mereka tidak ”lupa daratan”. Berdasarkan penjabaran tersebut, maka dapat kita lihat adanya peran wong cilik sebagai pencetak Priyayi-priyayi unggul (di mata mereka) yang berbudi luhur, dalam hal ini adalah seorang Priyayi yang dapat mengangkat derajat golongan wong cilik menjadi Priyayi. Dalam novel, Priyayi seperti ini digolongkan sebagai ”Priyayi tulen”.
Sebutan ”Priyayi tulen” dalam novel juga berhubungan dengan cara mereka mendapatkan gelar Priyayi. Dalam novel kita dapat melihat bahwasannya Sastrodarsono dan Lantip tidak mendapatkan gelar tersebut secara mudah, melainkan dengan penuh perjuangan dan hambatan. Sebab, latar belakang itulah yang menjadi salah satu ujian ”ketulenan” mereka sebagai Priyayi kelak. Seperti dalam kutipan berikut: ”mereka tahu bahwa saya adalah budak pembantu Ndoro Guru, Oh, bature budak pembantu Romo Mantri Guru, bisik-bisik mereka”(Hal: 22), dalam kutipan di atas terlihat adanya prilaku diskriminatif yang menghadang tokoh Lantip dalam perjalanannya menimba ilmu guna menjadi Priyayi, akibat statusnya yang berasal dari golongan wong cilik. Namun hal ini justru membuat Lantip menjadi pelajar yang tekun dan bermotifasi tinggi yang kelak mengantarkannya pada status terhormat. Berlatar belakang wong cilik dalam novel ”Para Priyayi” juga merupakan sebuah simbol dari Priyayi yang memiliki kecerdasan intelektual. Seperti dalam kutipan berikut: ”Untunglah dengan mudah saya dapat mengejar ketinggalan saya belajar” (Hal: 22), kata ”dengan mudah” mempertegas bahwa seorang yang berlatar belakang wong cilik itu akan membentuk seorang cendikiawan yang kelak akan menjadi ciri dari ”Priyayi tulen”.
Simpulannya adalah, bahwa peran wong cilik dalam novel ”Para Priyayi” karya Umar Kayam ini adalah sebuah indeks kebudayaan. Hal ini terlihat dari penggambaran wong cilik yang secara eksplisit maupun implisit adalah menjadi sebuah kekuatan yang dapat menciptakan sebuah golongan Priyayi yang berbeda dengan Priyayi kebanyakan, yakni ”Priyayi tulen”. Golongan ”Priyayi tulen” ini secara nilai, dipandang lebih baik dari pada golongan Priyayi keturunan atau Priyayi yang diangkat oleh pemerintah kolonial. Sebab, Priyayi ini telah teruji oleh berbagai rintangan dan juga telah memberikan kontribusi bagi golongan wong cilik, yakni menjadi sebuah siklus dan salah satu gerbang menuju perubahan kehidupan yang lebih baik, dari wong cilik ke para Priyayi.










Pustaka

Barthes, Roland. 1977. Image, Music, Text, Hill, and Wang. Google: Indonesia

Palmer, Richard. E. 1969. Hermeneutika. Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Tidak ada komentar: