Senin, 03 November 2008

Dialog, Prilaku dan Alur Tokoh Sebagai Tanda Keimanan Pengarang

Cerpen buah tangan dari Kipandjikusmin adalah salah satu cerpen Indonesia yang menggemparkan. Sebab dengan hadirnya cerpen ini di tengah-tengah masyarakat mengundang banyak kontroversi. Cerpen ini memang tergolong sangat berani dalam ide dan proses kreatifnya. Sebab, dalam cerita, Kipandjikusmin sang pengarang memasukan unsur-unsur keagamaan, dalam hal ini adalah agama Islam. Piranti-piranti vital (agama) ia kemukakan dengan gamblang dalam tokoh. Seperti tokoh Nabi Muhamad, Jibril, bahkan pengarang tidak ragu mendeskripsikan dengan ekstrem dialog Tuhan. Seperti petikan dialog sebagai berikut: “Membaca petisi para nabi Tuhan hanya menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikirpada ketidak puasan dibenak manisia”. Dalam kutipan ini kita dapat melihat bahwa pengarang dengan berani mendeskripsikan prilaku Tuhan layaknya manusia. Sebagai manusia yang beragama tentu kita akan merasa terusik dengan tulisan ini. Namun penulis melihat, Kipandjikusmin juga berusaha meminimalisasi dampak yang muncul di masyarakat jika tulisannya ini berdar luas. Hal ini terlihat dalam alur cerita dan dialog tokohnya, yang menandai bahwa pengarang masih memiliki nilai-nilai keagamaan dalam dirinya, dan tidak bermaksud melecehkan agama itu sendiri.hal inilah yang akan penulis coba paparkan, bahwasannya pengarang dalam karyanya yang kontroversial ini masih mementingkan nilai-nilai keagamaan yang ada dalam dirinya maupun di masyarakat.
Kipandjikusmin memang secara terang-terangan memasukan tokoh-tokoh yang berkaitan dengan agama, khususnya agama Islam. Namun dalam penerapannya pada cerita, tokoh-tokoh ini tidaklah diselewengkan perannya (jauh dari karakter asli si pemilik nama). Maksudnya adalah, pengarang hanya berniat meminjam nama dari karakter-karakter tersebut guna menunjang isi dan tujuan cerita. Hal ini terlihat dari beberapa petikan cerita berikut:
Tuhan: “Apa sebenarnya kau cari di bumi? Kemesuman, kemunafikan, kelaparan, tangis, dan kebencian sedang berkecamuk hebat sekali”. “Tuhan hanya menganggu-angguk, senyum penuh pengertian dan kebapaan”. Muhammad: “Kau memang mahakaya. Dan manusia, alangkah miskin dan melarat sekali”. “Sabda Allah tak akan kalah, betapapun islam ia ada dan tetap ada, walau bumi hancur sekalipun”.

Dari beberapa dialog di atas, penulis berpendapat bahwasannya Kipandjikusmin mengembangkan tokoh yang ada dalam ceritanya masih dalam norma dan nilai-nilai keagamaan. Seperti dalam dialog Tuhan. Pengarang dalam hal ini tetap mengedepankan sifat Tuhan yakni maha tahu dan maha pengasih dan penyayang. Hal tersebut tercermin dari perkataan Tuhan yang seakan mengetahui keadaan bumi ini yang penuh kemaksiatan. Kemudian penggambaran pengarang mengenai sifat Tuhan yang pengasih dan penyayang terlihat dalam kalimat “senyum penuh pengertian dan kebapaan”. Kemudian tokoh Muhammad pun digambarkan oleh si pengarang penuh kehati-hatian. Hal ini dibuktikan dalam petikan dialognya di atas “Sabda Allah tak akan kalah……”. Pengarang dengan tegas menerangkan sifat-sifat kenabian dari seorang Muhammad, yakni sebagai penyampai wahyu Tuhan. Hal ini membuktikan bahwa Kipandjikusmin masih berhati-hati dalam penulisan karyanya ini. Sebab ia tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang ada dalam agama islam dan tidak menjungkirbalikannya dengan mengubah nilai-nilai suci tersebut.
Selanjutnya adalah pola alur penceritaan dari karya ini sangat tidak ajeg dan tidak erat hubungan kausalitasnya satu dengan lainnya. Seperti dalam kutipan berikut:

“Muhammad tak hendak beranjak dari awan tempatnya berdiri. Hatinya bimbang pedih dan dukacita. Wajahnya gelap, segelap langit mendung di kiri-kanannya. Jibril menatap penuh tanda tanya, namun tak berani bertanya.Musim hujan belum datang-datang juga. Di Jakarta banyak orang kejangkitan influensa, pusing-pusing dan muntah-muntah.Naspro dan APC sekonyong-konyong melonjak harga. Jangan dikata lagi pil vitamin C dan ampul penstrip.”

Pada kutipan di atas, penulis melihat adanya ketidakeratan gagasan yang dituliskan oleh pengarang dalam penceritaan. Alurnya melompat-lompat, terutama ketika pengarang mulai menceritakan mengenai masalah politik dan sosial. Unsur agama juga seperti fragmen yang terpisah dari cerita politik dan sosial yang diangkat dalam cerpen. Hal ini terlihat dalam teks ketika Muhammad dan Jibril diceritakan hanya sebagai pengamat keadaan bumi yang ”carut-marut”. Dengan kata lain, ini memperlihatkan bahwa pengarang memang bertujuan memasukan piranti-piranti agama hanya sebagai perenungan bagi manusia, andaikan kita diberi kuasa oleh Tuhan untuk mengetahui hal yang gaib, seperti dialog antara Tuhan dengan nabi, maupun dengan para malaikatnya, maka manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya dalam menjalani kehidupan. Sebab manusia akan tahu, bahwa setiap prilakunya pasti akan selalu terpantau oleh Tuhannya. Ketidakeratan alur cerita juga terlihat dari banyaknya permasalahan yang diangkat sehingga unsur-unsur religiusitas yang ada dalam “langit Makin Mendung” ini hanya terlihat di bagian awal saja. Hal ini menurut penulis menandakan bahwa pengarang memang memposisikan ceritanya ini hanya sebagai mozaik cerita yang menampilkan kritik di segala lini kehidupan, dengan tidak menitik beratkan pada unsur-unsur keagamaan yang telanjur ia imajikan di awal karyanya.
Simpulannya adalah pengarang dalam hal ini meletakan nilai-nilai agama bukan untuk mendeskripsikan hal tersebut. Melainkan pengarang melakukan hal tersebut untuk memetaforkan pandangannya terhadap lingkungan, sebagai sarana pembentuk kritik sosial khususnya di Indonesia. Oleh sebab itu cerpen “Langit Makin Mendung” lebih bersifat fragmental. Maksudnya adalah, pengarang hanya berusaha merekam berbagai gejala dan gejolak di Negara Indonesia dengan menyertakan ikon-ikon dalam agama Islam sebagai metafornya. Pemakaian ikon-ikon ini turut menjelaskan bagaimana keadaan keimanan si pengarang. Dari paparan sebelumnya kita dapat melihat bahwa pengarang tidak sekalipun menjungkir-balikan hakikat maupun nilai-nilai tokoh (ikon-ikon Islam) yang ada dalam teks, melainkan pengarang hanya meletakan mereka dalam konteks penceritaan, hasil imajinasinya. Jadi penulis berkesimpulan, bahwa Kipandjikusmin adalah seorang yang masih memegang nilai-nilai keagamaan dalam dirinya, dan bukan tidak mungkin ia adalah penganut Islam yang taat, sebab pengarang masih mengetahui batasan-batasan mengenai agama Islam yang akan ia gunakan sebagai metafor. Namun, yang mendorong ia dalam bereksperimen menggunakan ikon-ikon Islam tersebut adalah kecenderungan bahwasannya sebuah karya itu bersifat ingin diperhatikan walaupun dengan cara yang mengundang kontroversi di masyarakat.

Tidak ada komentar: