Senin, 03 November 2008

sutardji kalzoum bachri

Puisi “Hyang ?” Sebagai Refleksi Manusia dalam Mencari Tuhan
pada Kumpulan Puisi ”O” Karya Sutardji Kalzoum Bachri


Sutardji Kalzoum Bachri (SKB) adalah salah seorang penyair yang membawa kebaruan dalam dunia karya sastra Indonesia. Sebab, dalam puisinya, bentuk maupun isi dari puisi tersebut tidak lagi seperti kebanyakan lazimnya. Contoh, pada puisi ”POT”. Puisi ini hanya berisikan deretan-deretan kata yang berbunyi serupa (pot) yang disusun sedemikian rupa sehingga terbentuklah sebuah puisi. Diikuti dengan puisi-puisinya yang lain, SKB selalu bermain dengan kata-kata ataupun suku kata yang disususn dengan urutan tertentu sehingga memiliki makna. Bentuk puisi ini menurut SKB sendiri adalah proses pengembalian kata pada asalnya. Yakni, kata menurutnya adalah sebuah kesatuan yang merdeka yang memiliki makna, dan bukan sebagai alat menyampaikan makna, sebagaimana kebanyakan orang beranggapan. Misalnya, kata ”kursi”, menurutnya ”kursi” bukanlah sebuah kata yang dapat dimaknai dengan tempat untuk duduk, tetapi ”kursi” adalah makna itu sendiri, bebas, dan tidak terikat. Dalam hal ini ia juga berpendapat, bahwasannya kata pada mulanya adalah mantra. Sebab, dalam mantra setiap kata itu mempunyai maksud dan tujuan masing-masing. Ia tidak terikat konteks apalagi struktur, ”kata” bertanggung jawab penuh atas dirinya sebab ia bermakna dan makna adalah dirinya (kata itu sendiri). Jadi dalam setiap puisinya, SKB ingin mengembalikan kata pada bentuk awalnya yakni mantra. Mengingat fungsi mantra, mantra adalah sebuah rangkaian kata-kata yang pada zaman dahulu berfungsi sebagai alat untuk mengatasi masalah yang tidak sanggup diatasi oleh manusia. Contoh, ada mantra penyembuhan, mantra penolak bala, mantra meminta panen, dan lain-lain. Hal ini menunjukan bahwa ada keterkaitan yang erat antara mantra dengan hal yang gaib (Tuhan). Manusia sadar akan ketidak berdayaannya dalam melakukan sesuatu oleh sebab itu manusia membuat mantra guna meminta pada yang gaib tersebut. apabila kita mengacu pada pandapat SKB bahwa kata pada hakikatnya adalah mantra, maka kata sesungguhnya dekat dengan nilai-nilai ketuhanan. Hal inilah yang coba penulis analisis dalam salah satu puisi SKB yang berjudul ”Hyang ?”, dengan asumsi bahwasannya puisi-puisi SKB itu dekat dengan nilai-nlai ketuhanan seperti pada mantra. Di bawah ini adalah puisi ”Hyang ?” :
Hyang?
yang
mana
ke
atau
dari
mana
meski
pun
lalu se
bab
kau
dan
aku

Puisi ”Hyang?” merupakan bentukan dari fragmen-fragmen kata dan morfem yang memiliki makna tersendiri, oleh sebab itu penulis akan meninjaunya satu-persatu dari kata-kata tersebut. Dimulai dari kata ”Hyang ?” Kata Hyang adalah padanan kata Tuhan. Namun di belakang kata Hyang terdapat sebuah tanda baca introgatif (?), tanda baca ini bermakna bahwa SKB ingin mempertanyakan di mana Tuhan, sebab pada hakikatnya dalam diri manusia akan selalu mempertanyakan Tuhan, sebab ia merasa manusia ada karena kuasa-Nya. Kemudian pada kata selanjutnya yakni ”yang”, kata ini bermakna keintiman hubungan manusia dengan Tuhannya, sebab ”yang” adalah sebutan seperti layaknya seorang manusia ketika memanggil kekasihnya. Hal ini menjadi mungkin sebab, seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa setiap kata bertangggung jawab atas dirinya sendiri, jadi kata ”yang” bukan lagi bermakna sebuah kata tunjuk yang terikat dengan kata di depannya, melainkan ia berdiri sendiri dan bermakna utuh, yakni menurut penulis adalah panggilan mesra untuk Tuhan yang bertujuan menunjukan keintiman. Kemudian kata ”mana”, kata ini merupakan kalimat pertanyaan, yang bermakna pencarian manusia terhadap Tuhan yang telah lama dirindukannya. Manusia yang. Hal ini mempertegas makna dari judul puisi, namun kata ”mana” lebih mencerminkan kerisauan dalam diri manusia, ketika ia jauh dengan Tuhan. Berikutnya adalah kata ”ke”, kata ini juga berkaitan dengan kata ”mana”, yakni bermakna kerisauan yang ada dalam diri manusia ketika ia merasa jauh dari Tuhannya. Sebab, kata ”ke” dan ”atau” secara implisit mengacu pada makna tempat (tujuan), oleh sebab itu manusia akan merasa risau dengan nilai-nilai ketuhan pada dirinya, karena nantinya ia akan dihadapkan pada dua buah tempat (tujuan akhir) yakni surga atau neraka, sesuai dengan kadar kedekatannya dengan Tuhan. Selanjutnya adalah kata ”dari”. Kata ini merupakan renungan dalam diri manusia, dari manakah ia berasal. Dari kata inilah manusia tentunya akan berfikir, sebenarnya segala sesuatu yang ada dalam dunia ini pada dasarnya memiliki hubungan kausalitas, yakni dengan adanya makhluk berarti ada yang menciptakannya. Pencipta tersebut adalah Tuhan. Kata ”mana” kembali diulang, hal ini menandakan bahwa kerisauan guna ingin lebih mendekatkan diri dengan Tuhan bertambah hebat akibat ia semakin menyadari kebesaran-Nya, lewat dirinya dan ciptaan-ciptaan-Nya. Rasa ini tercermin dari kata ”mana” yang melambangkan kerinduan manusia dengan zat yang maha agung itu. Kata ”meski” adalah penanda kesungguhan manusia dalam mencari Tuhannya. Sebab manusia akan mengalami berbagai macam rintangan dan cobaan dalam upayanya mencari sumber kebenaran tersebut. lalu kata ”pun” merupakan penegasan sekaligus tekad kemantapan hati seorang manusia dalam mencari Tuhannya. Kata ”lalu” masih berkaitan makna dengan kata sebelumnya, yakni tekad guna mencari Tuhan. Kata ”lalu” bermakna lampau atau lewat, hal ini menunjukan bahwa segala rintangan apapun akan dilewati seorang hamba agar ia dapat dekat dengan Tuhan yang telah menciptakannya. ”se” dan ”bab” dua kata ini melambangkan hubungan kausalitas antara makna kata-kata sebelumnya dengan kata ”antara”, ”kau”, ”dan”, ”aku”. Kata ”antara” merupakan kata penunjuk jarak sekaligus menegaskan bahwasannya manusia dan Tuhan pada dasarnya sangat dekat. Hal ini terjelaskan kembali pada kata ”kau” dan ”aku”. Kata ”kau” adalah perlambangan dari Tuhan, yang mengacu pada makna jarak yang dibuat oleh kata ”antara”. Maksudnya adalah, manusia pada akhirnya akan sadar bahwa sebenarnya Tuhan itu dekat. Hal tersebut diterangkan pada kata ”aku”. Kata ”aku” merupakan partikel yang terdapat di antara kata ”engkau” dan ”antara”, jadi ”aku” di sini mempunyai makna sebagai penjelas dua hal yang dipertanyakan, yaitu jarak antara Tuhan dengan ”aku” (manusia). Selain itu kata ”aku” juga bermakna inklusif, yakni menerangkan bahwa Tuhan itu dekat, sedekat kita dengan diri kita sendiri. Dengan kata lain dalam diri manusia terdapat simbol-simbol ketuhanan yang dapat kita tafakuri. Jadi dalam mencari Tuhan, mulailah dengan melihat diri kita sendiri, sebab dalam diri kita (manusia) mengalir semua tanda-tanda kebesaran-Nya.
Puisi ”Hyang ?” karya SKB ini makna pada bentuk susunan struktur puisinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan penulis, bahwa puisi-puisi SKB mempunyai keunikan isi dan bentuknya. Tentu saja bentuk puisi ini dibuat dengan maksud tertentu. Misalnya pada puisi ”Hyang ?”. Puisi ini seperti dijelaskan oleh penulis mengandung makna pencarian manusia terhadap sang pencipta, yang pada akhirnya menemukan jawabannya pada diri manusia itu sendiri. Hal tersebut kemudian diperkuat lagi dengan struktur pola dari penulisan puisi ”Hyang ?” ini, berikut penggambarannya:


Dari penggambaran berdasarkan pola garis yang ditarik dari kata-kata yang terdapat dalam puisi ”Hyang ?”, maka akan terlihat gambar manusia yang sedang berjalan (mobilitas). Dalam proses berjalan ini pada umunya manusia mempunyai tujuan. Hal inilah yang dianalogikan oleh SKB guna memperjelas makna dari puisi ”Hyang ?”, yakni sebuah proses pencarian Tuhan oleh manusia yang merasa bahwasannya eksistensinya di dunia pasti memiliki sumber, oleh sebab itu hatinya tergerak guna mencari zat apakah yang menjadikan diri dan alam sekitarnya ada.
Pustaka

Alwi Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Depdiknas Balai Pustaka

Dudin. 1994. Kumpulan Puisi O Karya Sutardji Calzoum Bachri Sebagai Upaya Pencarian Nilai-Nilai Ketuhanan Melalui Atavisme Mantra. 1944. Jatinangor: Skripsi

1 komentar:

Apapappa mengatakan...

thanks postingannya. sangat membantu :)(Y)