Rabu, 05 November 2008

7 faktor sosiologis pengarang yang berpengaruh terhadap penciptaan karyanya.

1. asal sosial: asal sosial adalah latar belakang budaya yang dimiliki oleh pengarang, hal ini biasanya berbias pada hasil karyanga. Contoh, Umar kayam, ia adalah pengarang yang berasal dari kebudayaan (asal sosial) jawa. Oleh karena itu, pada karyanya ia hampir selalu memasukan adat jawa ke dalamnya. Mis: pada para priyayi.
2. kelas sosial: kelas sosial hampir berdekatan dengan asal sosial namun lebih condong kepada strata sosial pengarang di masyarakat, misalnya tingkat pendidikan, maupun, golongan sosialnya. Contoh, Umar Kayam, bias kelas sosialnya ia tuliskan dalam novel para priyayi, sebab ia adalah juga seorang priyayi.
3. seks (jender): seks, adalah pengaruh jenis kelamin dalam pembuatan sebuah karya yang dihasilkan seorang pengarang. Contoh: Pramoedya Anantatoer, selalu mengangkat seorang tokoh perempuat pada setiap karyanya, kerena ia ingin mencitrakan kekagumannya terhadap ibu dan neneknya, yang notabene adalah perempuan.
4. umur: umur adalah, kematangan (usia produktif seorang pengarang. Hal ini biasanya ditandai dengan “kanon” karya yang diciptakan oleh pengarang. Contoh: Umar Kayam mencapai usia produktifnya ketika ia menelurkan karya para priyayi, dan putu wijaya, dalam umur 40-an, ia banyak menelurkan karya-karya terbaiknya, dan ditandai dengan naskah drama “aduh” sebagai puncaknya (kanon).
5. pendidikan : unsur pendidikan biasanya juga sangat berpengaruh terhadap hasil karya seorang pengarang. Misalnya: ketika zaman pujangga baru, ada perbedaan pendapat (mengenai akan di bawa kemana arah kebudayaan Indonesia ini) antara STA dengan Sanusi Pane. Hal ini disebabkan adanya dua pemikiran yang berbeda hasil dari pendidikan yang mereka dapatkan. STA lebih condong agar Indonesia “berkiblat” ke barat, sebab ia lama bersekolah di Belanda. Sedangkan Sanusi Pane lebih condong ke timur, sebab ia berasal dari sekolah lokal.
6. Pekerjaan/profesi: pekerjaan atau profesi seorang pengarang juga sangat menentukan hasil dari penciptaan karya mereka. Biasanya di Indonesia seorang pengarang banyak yang berprofesi sebagai guru, dosen, wartawan, dan juga peneliti. hal ini tentunya berbias dalam karya-karya yang mereka hasilkan. Misalnya, Sapardi djokodamo dalam setiap karyanya pasti memiliki kekompleks-an cerita dan terstruktur dengan baik. Hal ini mungkin bias dari statusnya keilmuannya sebagai seorang guru besar UI, sehingga ia menguasai teori-teori yang kemudian ia terapkan dalam karyanya.
7. Agama: agama adalah variabel paling penting dalam sosiologis pengarang, terutama di Indonesia. Sebab, unsure agama akan berdampak kuat dalam proses kreatif seorang pengarang, bahkan dapat menjadi ciri khas dari pengarang tersebut dalam menulis. contoh: Kuntowijoyo, pengarang ini dalam karya-karyanya selalu memasukan unsur-unsur agama (islam). Hal ini menjadikannya dikenal sebagai seorang pengarang profetik (memuat niali-nilai kenabian),yang kental dengan unsur dakwah.
Fajar>

Senin, 03 November 2008

Wong Cilik Sebagai Pembentuk “Priyayi Tulen”

Novel ”Para Priyayi” karya Umar Kayam, adalah salah satu novel Indonesia yang mengangkat latar lokalitas budaya. Novel ini menyoroti adat budaya Jawa, khususnya pola hidup dan kehidupan para Priyayi di Jawa. Priyayi pada hakikatnya adalah sebuah julukan bagi para cendikiawan, pejabat, dan para keturunan ningrat dan bangsawan di ranah Jawa. Kedudukannya begitu dihormati sebab tidak semua orang bisa sampai atau menjadi seorang Priyayi. Namun yang menarik adalah, nilai Priyayi itu tidak sama, baik dalam masyarakat umum (yang bukan Priyayi), maupun dikalangan Priyayi itu sendiri. Hal inilah yang penulis lihat ada dalam cerita novel ”Para Priyayi” karya Umar Kayam ini. Umar Kayam sadar atau tidak, memasukan pandangan ini dalam novelnya. Oleh sebab itu penulis mencoba mendekati gejala ini dengan mengambil pemikiran, bahwasannya dalam ”Para Priyayi” terdapat kode budaya (Jawa) yang dituliskan pengarang atas dasar penilaian dan pengamatannya terhadap masalah mengenai perbedaan nilai dan kualitas seorang Priyayi dalam lingkungannya.
Menurut Roland Barthes, sebuah tanda itu dapat muncul akibat adanya pengetahuan budaya seperti, mitos, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, dsb. Hal ini menurut penulis dapat dikaitkan dengan kedudukan Priyayi dalam Novel para Priyayi, khususnya pada permasalahan pandangan kedudukan seorang Priyayi dalam masyarakat. Dalam novel ”Para Priyayi”, penulis dapat membagi atas tiga bagian para Priyayi itu sesuai dengan proses terbentuknya. Yang pertama adalah: statusnya sebagai seorang Priyayi didasari atas hubungan darah (keturunan) raja-raja atau penguasa Jawa, yang kedua adalah didasari karena penganugerahan oleh kerajaan atau pemerintah kolonial karena pengabdiannya sebagai abdi dalem atau pengabdiannya sebagai pegawai pemerintahan kala itu, yang ketiga berdasarkan proses pendidikan yang didapatnya dengan cara ngenger (menumpang pada Priyayi yang sudah mapan). Berasarkan ketiga proses tersebut dalam novel, penulis melihat adanya gejala perbedaan nilai di sana. Yakni, status penghargaan dan penghormatan yakni dari kalangan masyarakat non-Priyayi maupun dari kalangan Priyayi. Seperti telah dikatakan sebelumnya, proses ketiga berangkat dari sebuah usaha seseorang yang menempuh pendidikan tinggi guna menjadi seorang cendikiawan dan akhirnya mendapatkan gelar Priyayi dalam masyarakat. Proses yang ketiga ini menurut pandangan Priyayi yang lain adalah proses yang paling rendah tingkatannya dalam kalangan Priyayi. Namun yang menarik justru dalam cerita, orang yang menjalani Proses ketiga inilah yang pada akhirnya menjadi Priyayi besar dan menyanding predikat ”Priyayi Tulen”. Hal ini disebabkan karena para Priyayi yang berangkat dari golongan ketiga tersebut erat kaitannya dengan wong cilik.
Dalam novel, kita dapat melihat adanya Dua tokoh Priyayi yang berkedudukan tinggi, namun pada awalnya ia justru menempuh pintu gerbang ke-Priyayi-an melalui jalur yang terendah. Kedua tokoh tersebut adalah Sastrodarsono dan Lantip. Kedua tokoh ini adalah Priyayi besar yang lahir justru dari kalangan bawah (wong cilik). Hal ini menurut penulis adalah sebuah indeks yang menyatakan pentingnya kedudukan wong clik itu dalam kasta Priyayi. Dalam novel kita dapat meihat kedua tokoh tersebut besar mendapat gelar Priyayinya melalui usaha dan kerja kerasnya, dengan cara ngenger pada Priyayi lain. Namun hal ini justru membuat motifasi lebih bagi kedua tokoh tersebut guna meningkatkan kualitas kehidupan dirinya maupun keluarganya yang notabene adalah keluarga miskin. Dari penjabaran itu penulis melihat adanya peran yang sangat besar dari strata wong cilik guna menjadi lecutan ataupun dorongan guna berbuat yang lebih baik dalam hal ini adalah menjadi seorang Priyayi, agar kualitas kehidupan pribadi dan keluarganya meningkat.
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa dalam Priyayi itu terdapat dua nilai yang berbeda, nilai tersebut pada dasarnya timbul dari dua pengamatan yakni berdasarkan proses terciptanya seorang menjadi Priyayi dan nilai guna Priyayi itu sendiri. Pandangan yang pertama biasanya muncul dikalangan para Priyayi saja sebab mereka menganggap garis keturunanlah yang sangat menentukan kualitas dan kuantitas seorang Priyayi. sedangkan nilai kedua muncul dari kalangan masyarakat non-Priyayi khususnya wong cilik sebab secara tersirat dalam novel, priyayi yang sukses adalah priyayi yang berasal dari golongan wong cilik. Hal tersebut dapat dilihat melalui tokoh Sastrodarsono dan Lantip.
Bila kita cermati perjalanan kehidupan Lantip dan Sastrodarsono, ada kemiripan sistem dan pola hidup mereka. Hal tersebut adalah selain mereka sama-sama seorang Priyayi yang sukses yang berasal dari kalangan wong cilik, mereka juga sebagai seorang pencetak Priyayi lainnya. Maksudnya adalah, dalam perjalanan hidup mereka sebagai seorang Priyayi, mereka kemudian memberikan pengabdian pada masyarakat dengan cara menjadi fasilitator bagi golongan wong cilik yang ingin menjadi Priyayi. Secara struktur kita dapat menggambarkan polanya sebagai berikut:

Ngenger Ngenger
Wong Cilik Priyayi Wong Cilik/ Priyayi Tulen Wong Cilik P. tulen

Garis keturunan Garis Keturunan
Priyayi Keturunan P. Keturunan

Dari penggambaran di atas, kita dapat menyimpulkan bahwasannya seorang Priyayi yang berasal dari golongan wong cilik dapat mencetak dua golongan Priyayi sekaligus, yakni Priyayi keturunan dan Priyayi yang seperti dirinya. Hal ini pulalah yang dilakukan oleh Sastrodarsono dan Lantip. Walaupun mereka akhirnya menjadi seorang Priyayi besar tetapi mereka tidak ”lupa daratan”. Berdasarkan penjabaran tersebut, maka dapat kita lihat adanya peran wong cilik sebagai pencetak Priyayi-priyayi unggul (di mata mereka) yang berbudi luhur, dalam hal ini adalah seorang Priyayi yang dapat mengangkat derajat golongan wong cilik menjadi Priyayi. Dalam novel, Priyayi seperti ini digolongkan sebagai ”Priyayi tulen”.
Sebutan ”Priyayi tulen” dalam novel juga berhubungan dengan cara mereka mendapatkan gelar Priyayi. Dalam novel kita dapat melihat bahwasannya Sastrodarsono dan Lantip tidak mendapatkan gelar tersebut secara mudah, melainkan dengan penuh perjuangan dan hambatan. Sebab, latar belakang itulah yang menjadi salah satu ujian ”ketulenan” mereka sebagai Priyayi kelak. Seperti dalam kutipan berikut: ”mereka tahu bahwa saya adalah budak pembantu Ndoro Guru, Oh, bature budak pembantu Romo Mantri Guru, bisik-bisik mereka”(Hal: 22), dalam kutipan di atas terlihat adanya prilaku diskriminatif yang menghadang tokoh Lantip dalam perjalanannya menimba ilmu guna menjadi Priyayi, akibat statusnya yang berasal dari golongan wong cilik. Namun hal ini justru membuat Lantip menjadi pelajar yang tekun dan bermotifasi tinggi yang kelak mengantarkannya pada status terhormat. Berlatar belakang wong cilik dalam novel ”Para Priyayi” juga merupakan sebuah simbol dari Priyayi yang memiliki kecerdasan intelektual. Seperti dalam kutipan berikut: ”Untunglah dengan mudah saya dapat mengejar ketinggalan saya belajar” (Hal: 22), kata ”dengan mudah” mempertegas bahwa seorang yang berlatar belakang wong cilik itu akan membentuk seorang cendikiawan yang kelak akan menjadi ciri dari ”Priyayi tulen”.
Simpulannya adalah, bahwa peran wong cilik dalam novel ”Para Priyayi” karya Umar Kayam ini adalah sebuah indeks kebudayaan. Hal ini terlihat dari penggambaran wong cilik yang secara eksplisit maupun implisit adalah menjadi sebuah kekuatan yang dapat menciptakan sebuah golongan Priyayi yang berbeda dengan Priyayi kebanyakan, yakni ”Priyayi tulen”. Golongan ”Priyayi tulen” ini secara nilai, dipandang lebih baik dari pada golongan Priyayi keturunan atau Priyayi yang diangkat oleh pemerintah kolonial. Sebab, Priyayi ini telah teruji oleh berbagai rintangan dan juga telah memberikan kontribusi bagi golongan wong cilik, yakni menjadi sebuah siklus dan salah satu gerbang menuju perubahan kehidupan yang lebih baik, dari wong cilik ke para Priyayi.










Pustaka

Barthes, Roland. 1977. Image, Music, Text, Hill, and Wang. Google: Indonesia

Palmer, Richard. E. 1969. Hermeneutika. Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Dialog, Prilaku dan Alur Tokoh Sebagai Tanda Keimanan Pengarang

Cerpen buah tangan dari Kipandjikusmin adalah salah satu cerpen Indonesia yang menggemparkan. Sebab dengan hadirnya cerpen ini di tengah-tengah masyarakat mengundang banyak kontroversi. Cerpen ini memang tergolong sangat berani dalam ide dan proses kreatifnya. Sebab, dalam cerita, Kipandjikusmin sang pengarang memasukan unsur-unsur keagamaan, dalam hal ini adalah agama Islam. Piranti-piranti vital (agama) ia kemukakan dengan gamblang dalam tokoh. Seperti tokoh Nabi Muhamad, Jibril, bahkan pengarang tidak ragu mendeskripsikan dengan ekstrem dialog Tuhan. Seperti petikan dialog sebagai berikut: “Membaca petisi para nabi Tuhan hanya menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikirpada ketidak puasan dibenak manisia”. Dalam kutipan ini kita dapat melihat bahwa pengarang dengan berani mendeskripsikan prilaku Tuhan layaknya manusia. Sebagai manusia yang beragama tentu kita akan merasa terusik dengan tulisan ini. Namun penulis melihat, Kipandjikusmin juga berusaha meminimalisasi dampak yang muncul di masyarakat jika tulisannya ini berdar luas. Hal ini terlihat dalam alur cerita dan dialog tokohnya, yang menandai bahwa pengarang masih memiliki nilai-nilai keagamaan dalam dirinya, dan tidak bermaksud melecehkan agama itu sendiri.hal inilah yang akan penulis coba paparkan, bahwasannya pengarang dalam karyanya yang kontroversial ini masih mementingkan nilai-nilai keagamaan yang ada dalam dirinya maupun di masyarakat.
Kipandjikusmin memang secara terang-terangan memasukan tokoh-tokoh yang berkaitan dengan agama, khususnya agama Islam. Namun dalam penerapannya pada cerita, tokoh-tokoh ini tidaklah diselewengkan perannya (jauh dari karakter asli si pemilik nama). Maksudnya adalah, pengarang hanya berniat meminjam nama dari karakter-karakter tersebut guna menunjang isi dan tujuan cerita. Hal ini terlihat dari beberapa petikan cerita berikut:
Tuhan: “Apa sebenarnya kau cari di bumi? Kemesuman, kemunafikan, kelaparan, tangis, dan kebencian sedang berkecamuk hebat sekali”. “Tuhan hanya menganggu-angguk, senyum penuh pengertian dan kebapaan”. Muhammad: “Kau memang mahakaya. Dan manusia, alangkah miskin dan melarat sekali”. “Sabda Allah tak akan kalah, betapapun islam ia ada dan tetap ada, walau bumi hancur sekalipun”.

Dari beberapa dialog di atas, penulis berpendapat bahwasannya Kipandjikusmin mengembangkan tokoh yang ada dalam ceritanya masih dalam norma dan nilai-nilai keagamaan. Seperti dalam dialog Tuhan. Pengarang dalam hal ini tetap mengedepankan sifat Tuhan yakni maha tahu dan maha pengasih dan penyayang. Hal tersebut tercermin dari perkataan Tuhan yang seakan mengetahui keadaan bumi ini yang penuh kemaksiatan. Kemudian penggambaran pengarang mengenai sifat Tuhan yang pengasih dan penyayang terlihat dalam kalimat “senyum penuh pengertian dan kebapaan”. Kemudian tokoh Muhammad pun digambarkan oleh si pengarang penuh kehati-hatian. Hal ini dibuktikan dalam petikan dialognya di atas “Sabda Allah tak akan kalah……”. Pengarang dengan tegas menerangkan sifat-sifat kenabian dari seorang Muhammad, yakni sebagai penyampai wahyu Tuhan. Hal ini membuktikan bahwa Kipandjikusmin masih berhati-hati dalam penulisan karyanya ini. Sebab ia tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang ada dalam agama islam dan tidak menjungkirbalikannya dengan mengubah nilai-nilai suci tersebut.
Selanjutnya adalah pola alur penceritaan dari karya ini sangat tidak ajeg dan tidak erat hubungan kausalitasnya satu dengan lainnya. Seperti dalam kutipan berikut:

“Muhammad tak hendak beranjak dari awan tempatnya berdiri. Hatinya bimbang pedih dan dukacita. Wajahnya gelap, segelap langit mendung di kiri-kanannya. Jibril menatap penuh tanda tanya, namun tak berani bertanya.Musim hujan belum datang-datang juga. Di Jakarta banyak orang kejangkitan influensa, pusing-pusing dan muntah-muntah.Naspro dan APC sekonyong-konyong melonjak harga. Jangan dikata lagi pil vitamin C dan ampul penstrip.”

Pada kutipan di atas, penulis melihat adanya ketidakeratan gagasan yang dituliskan oleh pengarang dalam penceritaan. Alurnya melompat-lompat, terutama ketika pengarang mulai menceritakan mengenai masalah politik dan sosial. Unsur agama juga seperti fragmen yang terpisah dari cerita politik dan sosial yang diangkat dalam cerpen. Hal ini terlihat dalam teks ketika Muhammad dan Jibril diceritakan hanya sebagai pengamat keadaan bumi yang ”carut-marut”. Dengan kata lain, ini memperlihatkan bahwa pengarang memang bertujuan memasukan piranti-piranti agama hanya sebagai perenungan bagi manusia, andaikan kita diberi kuasa oleh Tuhan untuk mengetahui hal yang gaib, seperti dialog antara Tuhan dengan nabi, maupun dengan para malaikatnya, maka manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya dalam menjalani kehidupan. Sebab manusia akan tahu, bahwa setiap prilakunya pasti akan selalu terpantau oleh Tuhannya. Ketidakeratan alur cerita juga terlihat dari banyaknya permasalahan yang diangkat sehingga unsur-unsur religiusitas yang ada dalam “langit Makin Mendung” ini hanya terlihat di bagian awal saja. Hal ini menurut penulis menandakan bahwa pengarang memang memposisikan ceritanya ini hanya sebagai mozaik cerita yang menampilkan kritik di segala lini kehidupan, dengan tidak menitik beratkan pada unsur-unsur keagamaan yang telanjur ia imajikan di awal karyanya.
Simpulannya adalah pengarang dalam hal ini meletakan nilai-nilai agama bukan untuk mendeskripsikan hal tersebut. Melainkan pengarang melakukan hal tersebut untuk memetaforkan pandangannya terhadap lingkungan, sebagai sarana pembentuk kritik sosial khususnya di Indonesia. Oleh sebab itu cerpen “Langit Makin Mendung” lebih bersifat fragmental. Maksudnya adalah, pengarang hanya berusaha merekam berbagai gejala dan gejolak di Negara Indonesia dengan menyertakan ikon-ikon dalam agama Islam sebagai metafornya. Pemakaian ikon-ikon ini turut menjelaskan bagaimana keadaan keimanan si pengarang. Dari paparan sebelumnya kita dapat melihat bahwa pengarang tidak sekalipun menjungkir-balikan hakikat maupun nilai-nilai tokoh (ikon-ikon Islam) yang ada dalam teks, melainkan pengarang hanya meletakan mereka dalam konteks penceritaan, hasil imajinasinya. Jadi penulis berkesimpulan, bahwa Kipandjikusmin adalah seorang yang masih memegang nilai-nilai keagamaan dalam dirinya, dan bukan tidak mungkin ia adalah penganut Islam yang taat, sebab pengarang masih mengetahui batasan-batasan mengenai agama Islam yang akan ia gunakan sebagai metafor. Namun, yang mendorong ia dalam bereksperimen menggunakan ikon-ikon Islam tersebut adalah kecenderungan bahwasannya sebuah karya itu bersifat ingin diperhatikan walaupun dengan cara yang mengundang kontroversi di masyarakat.

sutardji kalzoum bachri

Puisi “Hyang ?” Sebagai Refleksi Manusia dalam Mencari Tuhan
pada Kumpulan Puisi ”O” Karya Sutardji Kalzoum Bachri


Sutardji Kalzoum Bachri (SKB) adalah salah seorang penyair yang membawa kebaruan dalam dunia karya sastra Indonesia. Sebab, dalam puisinya, bentuk maupun isi dari puisi tersebut tidak lagi seperti kebanyakan lazimnya. Contoh, pada puisi ”POT”. Puisi ini hanya berisikan deretan-deretan kata yang berbunyi serupa (pot) yang disusun sedemikian rupa sehingga terbentuklah sebuah puisi. Diikuti dengan puisi-puisinya yang lain, SKB selalu bermain dengan kata-kata ataupun suku kata yang disususn dengan urutan tertentu sehingga memiliki makna. Bentuk puisi ini menurut SKB sendiri adalah proses pengembalian kata pada asalnya. Yakni, kata menurutnya adalah sebuah kesatuan yang merdeka yang memiliki makna, dan bukan sebagai alat menyampaikan makna, sebagaimana kebanyakan orang beranggapan. Misalnya, kata ”kursi”, menurutnya ”kursi” bukanlah sebuah kata yang dapat dimaknai dengan tempat untuk duduk, tetapi ”kursi” adalah makna itu sendiri, bebas, dan tidak terikat. Dalam hal ini ia juga berpendapat, bahwasannya kata pada mulanya adalah mantra. Sebab, dalam mantra setiap kata itu mempunyai maksud dan tujuan masing-masing. Ia tidak terikat konteks apalagi struktur, ”kata” bertanggung jawab penuh atas dirinya sebab ia bermakna dan makna adalah dirinya (kata itu sendiri). Jadi dalam setiap puisinya, SKB ingin mengembalikan kata pada bentuk awalnya yakni mantra. Mengingat fungsi mantra, mantra adalah sebuah rangkaian kata-kata yang pada zaman dahulu berfungsi sebagai alat untuk mengatasi masalah yang tidak sanggup diatasi oleh manusia. Contoh, ada mantra penyembuhan, mantra penolak bala, mantra meminta panen, dan lain-lain. Hal ini menunjukan bahwa ada keterkaitan yang erat antara mantra dengan hal yang gaib (Tuhan). Manusia sadar akan ketidak berdayaannya dalam melakukan sesuatu oleh sebab itu manusia membuat mantra guna meminta pada yang gaib tersebut. apabila kita mengacu pada pandapat SKB bahwa kata pada hakikatnya adalah mantra, maka kata sesungguhnya dekat dengan nilai-nilai ketuhanan. Hal inilah yang coba penulis analisis dalam salah satu puisi SKB yang berjudul ”Hyang ?”, dengan asumsi bahwasannya puisi-puisi SKB itu dekat dengan nilai-nlai ketuhanan seperti pada mantra. Di bawah ini adalah puisi ”Hyang ?” :
Hyang?
yang
mana
ke
atau
dari
mana
meski
pun
lalu se
bab
kau
dan
aku

Puisi ”Hyang?” merupakan bentukan dari fragmen-fragmen kata dan morfem yang memiliki makna tersendiri, oleh sebab itu penulis akan meninjaunya satu-persatu dari kata-kata tersebut. Dimulai dari kata ”Hyang ?” Kata Hyang adalah padanan kata Tuhan. Namun di belakang kata Hyang terdapat sebuah tanda baca introgatif (?), tanda baca ini bermakna bahwa SKB ingin mempertanyakan di mana Tuhan, sebab pada hakikatnya dalam diri manusia akan selalu mempertanyakan Tuhan, sebab ia merasa manusia ada karena kuasa-Nya. Kemudian pada kata selanjutnya yakni ”yang”, kata ini bermakna keintiman hubungan manusia dengan Tuhannya, sebab ”yang” adalah sebutan seperti layaknya seorang manusia ketika memanggil kekasihnya. Hal ini menjadi mungkin sebab, seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa setiap kata bertangggung jawab atas dirinya sendiri, jadi kata ”yang” bukan lagi bermakna sebuah kata tunjuk yang terikat dengan kata di depannya, melainkan ia berdiri sendiri dan bermakna utuh, yakni menurut penulis adalah panggilan mesra untuk Tuhan yang bertujuan menunjukan keintiman. Kemudian kata ”mana”, kata ini merupakan kalimat pertanyaan, yang bermakna pencarian manusia terhadap Tuhan yang telah lama dirindukannya. Manusia yang. Hal ini mempertegas makna dari judul puisi, namun kata ”mana” lebih mencerminkan kerisauan dalam diri manusia, ketika ia jauh dengan Tuhan. Berikutnya adalah kata ”ke”, kata ini juga berkaitan dengan kata ”mana”, yakni bermakna kerisauan yang ada dalam diri manusia ketika ia merasa jauh dari Tuhannya. Sebab, kata ”ke” dan ”atau” secara implisit mengacu pada makna tempat (tujuan), oleh sebab itu manusia akan merasa risau dengan nilai-nilai ketuhan pada dirinya, karena nantinya ia akan dihadapkan pada dua buah tempat (tujuan akhir) yakni surga atau neraka, sesuai dengan kadar kedekatannya dengan Tuhan. Selanjutnya adalah kata ”dari”. Kata ini merupakan renungan dalam diri manusia, dari manakah ia berasal. Dari kata inilah manusia tentunya akan berfikir, sebenarnya segala sesuatu yang ada dalam dunia ini pada dasarnya memiliki hubungan kausalitas, yakni dengan adanya makhluk berarti ada yang menciptakannya. Pencipta tersebut adalah Tuhan. Kata ”mana” kembali diulang, hal ini menandakan bahwa kerisauan guna ingin lebih mendekatkan diri dengan Tuhan bertambah hebat akibat ia semakin menyadari kebesaran-Nya, lewat dirinya dan ciptaan-ciptaan-Nya. Rasa ini tercermin dari kata ”mana” yang melambangkan kerinduan manusia dengan zat yang maha agung itu. Kata ”meski” adalah penanda kesungguhan manusia dalam mencari Tuhannya. Sebab manusia akan mengalami berbagai macam rintangan dan cobaan dalam upayanya mencari sumber kebenaran tersebut. lalu kata ”pun” merupakan penegasan sekaligus tekad kemantapan hati seorang manusia dalam mencari Tuhannya. Kata ”lalu” masih berkaitan makna dengan kata sebelumnya, yakni tekad guna mencari Tuhan. Kata ”lalu” bermakna lampau atau lewat, hal ini menunjukan bahwa segala rintangan apapun akan dilewati seorang hamba agar ia dapat dekat dengan Tuhan yang telah menciptakannya. ”se” dan ”bab” dua kata ini melambangkan hubungan kausalitas antara makna kata-kata sebelumnya dengan kata ”antara”, ”kau”, ”dan”, ”aku”. Kata ”antara” merupakan kata penunjuk jarak sekaligus menegaskan bahwasannya manusia dan Tuhan pada dasarnya sangat dekat. Hal ini terjelaskan kembali pada kata ”kau” dan ”aku”. Kata ”kau” adalah perlambangan dari Tuhan, yang mengacu pada makna jarak yang dibuat oleh kata ”antara”. Maksudnya adalah, manusia pada akhirnya akan sadar bahwa sebenarnya Tuhan itu dekat. Hal tersebut diterangkan pada kata ”aku”. Kata ”aku” merupakan partikel yang terdapat di antara kata ”engkau” dan ”antara”, jadi ”aku” di sini mempunyai makna sebagai penjelas dua hal yang dipertanyakan, yaitu jarak antara Tuhan dengan ”aku” (manusia). Selain itu kata ”aku” juga bermakna inklusif, yakni menerangkan bahwa Tuhan itu dekat, sedekat kita dengan diri kita sendiri. Dengan kata lain dalam diri manusia terdapat simbol-simbol ketuhanan yang dapat kita tafakuri. Jadi dalam mencari Tuhan, mulailah dengan melihat diri kita sendiri, sebab dalam diri kita (manusia) mengalir semua tanda-tanda kebesaran-Nya.
Puisi ”Hyang ?” karya SKB ini makna pada bentuk susunan struktur puisinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan penulis, bahwa puisi-puisi SKB mempunyai keunikan isi dan bentuknya. Tentu saja bentuk puisi ini dibuat dengan maksud tertentu. Misalnya pada puisi ”Hyang ?”. Puisi ini seperti dijelaskan oleh penulis mengandung makna pencarian manusia terhadap sang pencipta, yang pada akhirnya menemukan jawabannya pada diri manusia itu sendiri. Hal tersebut kemudian diperkuat lagi dengan struktur pola dari penulisan puisi ”Hyang ?” ini, berikut penggambarannya:


Dari penggambaran berdasarkan pola garis yang ditarik dari kata-kata yang terdapat dalam puisi ”Hyang ?”, maka akan terlihat gambar manusia yang sedang berjalan (mobilitas). Dalam proses berjalan ini pada umunya manusia mempunyai tujuan. Hal inilah yang dianalogikan oleh SKB guna memperjelas makna dari puisi ”Hyang ?”, yakni sebuah proses pencarian Tuhan oleh manusia yang merasa bahwasannya eksistensinya di dunia pasti memiliki sumber, oleh sebab itu hatinya tergerak guna mencari zat apakah yang menjadikan diri dan alam sekitarnya ada.
Pustaka

Alwi Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Depdiknas Balai Pustaka

Dudin. 1994. Kumpulan Puisi O Karya Sutardji Calzoum Bachri Sebagai Upaya Pencarian Nilai-Nilai Ketuhanan Melalui Atavisme Mantra. 1944. Jatinangor: Skripsi